Kamis, 18 Juli 2013

Pendidikan Karakter



HUMANISME SEBAGAI PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT DRIYARKARA

Setiap bangsa, setiap masyarakat, setiap kebudayaan membutuhkan suatu pembaharuan, agar dapat bertahan hidup. Demikian juga dengan pendidikan, membutuhkan suatu renaissance atau menurut filsuf M. Heidegger, suatu geistige renewal.(1) Bagaimana hal ini dapat dilakukan? Menurut pendapat saya kita harus kembali kepada Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila seraya menatap ke depan menghadapi tantangan jaman. Dalam Pembukaan UUD 1945 itu pendidikan itu merupakan salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia dan dirumuskan sebagai “mencerdaskan kehidupan bangsa”. 


Pancasila sebagai Dasar Negara harus pula melandasi pendidikan. Hanya bangsa yang cerdas yang akan mampu menghadapi tantangan jaman dan globalisasi. Pembukaan UUD itu merumuskan tujuan pendidikan yang melampaui sekat-sekat agama, suku dan ras, menempatkan pendidikan dalam kehidupan bangsa, bukan golongan dan kelompok apapun. Yang harus menjadi cerdas adalah kehidupan bangsa dalam segala dimensinya, politik, kultural dan ekonomi. Lebih lanjut pendidikan harus berlandaskan Pancasila.
Dalam konteks itulah kita membaca kembali karya-karya Prof. Dr. N. Driyarkara, yang dapat dirumuskan dalam empat prinsip pendidikan ialah: humanisme, humanisasi, humaniora dan humanitas.
A. Humanisme Sebagai Filsafat Pendidikan
Humanisme memiliki bermacam-macam arti.Tetapi disini dengan humanisme dimaksudkan suatu visi yang melihat manusia sebagai yang bermartabat dan luhur. Driyarkara tidak bertitik tolak dari cogito ergo sum Descartes dan tidak pula dari definisi filsafat Yunani Kuno animal rationale, melainkan manusia sebagai “berada-di-dunia”. Manusia hanya menjadi manusia dengan berinteraksi dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Manusia mengubah relasi alamiahnya dengan sesamanya menjadi komunitas yang disebut bangsa dan negara. Selanjutnya manusia mengubah dunianya, memberi arti-arti pada dunianya, sehingga terintegrasi dengan dirinya menjadi dunia manusia, terutama melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks inilah “negara” dan “bangsa” dilihat sebagai ciptaan budaya. Karena hal itu merupakan proses, maka Driyarkara mengatakan: manusia “menegara”. Tidak hanya itu, manusia mengorganisir dunianya melalui simbolisasi sehingga mengubah khaos menjadi kosmos yang layak dihuni. Manusia mengatasi keterbatasan dirinya melalui penciptaan ilmu dan teknologi serta simbol-simbol. Dengan demikian ia mengatasi kecemasan fundamentalnya. Sebagaimana Nietzsche mengatakan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah manifestasi will to power, kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa bila tidak terkendali akan menciptakan malapetaka, sebut saja kerusakan alam oleh Lapindo, pemanasan bumi, deforestasi, pencemaran udara dan laut. Oleh karena itu, manusia membutuhkan pendidikan agar dengan cerdas dapat merawat dirinya dan dunianya. Maka humanisme klasik yang menekankan “pengendalian-diri” dan “penguasaan-diri” tidak bertentangan dengan humanisme kontemporer. Gairah, emosi, kecenderungan tidak harus direpresi, tetapi diatur dan dikendalikan sehingga bisa diekspresikan dengan baik, bahkan dengan indah dalam kesantunan dan kesenian. Mesu budi, mesu salira, dalam asketisme Jawa tetap relevan dalam budaya konsumeristik dan hedonistik. Perlu diingat bahwa asketisme tidak menghapus kebebasan, tetapi memberi makna pada kebebasan sebagai aktualisasi eksistensinya.
Pendidikan oleh humanisme dilihat sebagai penyempurnaan diri manusia, maka juga merupakan proses pemberadaban. Driyarkara membedakan dua fase perkembangan diri manusia. Tahap pertama disebut hominisasi, yaitu proses perkembangan “menjadi manusia” yang mencapai kedewasaan fisik dan psikologis. Sesudah itu perkembangan meningkat menjadi humanisasi. Dalam proses ini pendidikan menjadi aktivitas yang menentukan yang oleh Driyarkara dianggap sebagai proses fundamental, karena keluar dari hakekat manusia sendiri. “Bagaimanapun juga, humanismus atau humanisme selalu berarti perkembangan yang lebih tinggi, diatas tingkat minimal. Tingkat yang minimal itulah yang kita sebut hominisasi, sedang tingkat yang lebih sempurna kita beri nama humanisasi.” (Karya Lengkap: 368-369).
B. Humanisasi Sebagai Proses Pendidikan
Kalau humanisme merupakan visi menyeluruh tentang pendidikan, visi itu harus dikonkritkan dalam suatu kegiatan. Visi humanisme itu melihat pendidikan bertujuan menyempurnakan kemanusiaan. Tujuan itu harus dicapai melalui proses yang manusiawi pula, yaitu humanisasi, yang dengan sendirinya mengimplikasikan hominisasi. “Manusia tidak hanya harus menjadi homo (manusia): dia juga harus menjadi homo yang human, artinya berkebudayaan lebih tinggi. Ini juga memuat perhalusan.” (Karya Lengkap: 371). Itulah pendidikan. Apakah implikasi dari pendidikan sebagai hominisasi dan humanisasi itu?
  1. Mendidik adalah suatu tindakan yang fundamental, yang bukan perbuatan dangkal. Maka perbuatan itu didasari oleh kehendak, yang melahirkan cinta dari pendidik kepada “subjek-yang-sedang menjadi”.
  2. Pendidikan harus bersifat dialogis, suatu relasi antara subjek dengan subjek. Menurut Paulo Freire pendidikan adalah relasi subjek dengan subjek yang bersama-sama menangani dunia dan menamai dunia. “Menangani dunia” artinya mengolah dan merawat dunia; “menamai dunia” artinya memberi arti-arti pada dunianya dan mengintegrasikannya dengan dirinya. Segala persoalan ekologis dewasa ini disebabkan karena manusia mengubah atau memanfaatkan dunia tanpa merawatnya. Manusia dikuasai oleh teknologi, bukan menguasai teknologi, yaitu menjadikan segala bentuk teknologi mempunyai arti bagi dirinya.
  3. Pendidikan mencakup pendidikan nilai. “Mendidik berarti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, atau juga memasukkan dunia nilai-nilai ke dalam jiwa anak.” (Karya Lengkap: 408). Oleh karena itu pendidikan tidak pernah netral. Orientasi dalam pendidikan nilai itu adalah nilai-nilai Pancasila:
  1. a. Nilai pertama ialah bahwa pendidikan haruslah memperlakukan manusia dengan hormat, karena menurut keyakinan religius manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi di antara ciptaan lain di dunia.
  2. b. Nilai kedua ialah bahwa pendidikan harus bersifat manusiawi. lni mengandung berbagai asumsi dan implikasi. Dasar dari setiap perlakuan yang manusiawi adalah perlakuan terhadap manusia sebagai pribadi (persona) atau sebagai subjek. Inilah maksud dari istilah “manusia seutuhnya”, artinya manusia sebagai subjek. Ia tidak boleh diciutkan menjadi objek atau alat guna mencapai tujuan tertentu, tetapi justru ia menjadi tujuan.
  3. c. Nilai ketiga adalah nasionalisme, mencintai tanah air. Ini berarti menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri atau kelompok yang sempit. Terkandung pula nilai kesatuan yang mengatasi fragmentasi.
  4. d. Nilai keempat adalah demokratis. Demokrasi mengandaikan bahwa ada penghargaan terhadap manusia yang sama. Setiap warga negara memiliki hak untuk ikut serta menentukan kebijakan-kebijakan yang menentukan nasibnya. Pengembangan demokrasi haruslah dimulai sedini mungkin, khususnya dalam pendidikan. Kendala budaya untuk mengembangkan demokrasi yang menjadi masalah dalam setiap pembangunan politik adalah bagaimana menciptakan etos yang akan mendorong kemandirian individu dan membantu setiap warga negara untuk melihat dirinya sebagai partisipan politik.
  5. e. Nilai kelima adalah keadilan sosial. Pendidikan sebagai jalur pengembangan diri manusia haruslah menjadi pendidikan untuk keadilan, “education for justice” dan sekaligus menjadi perwujudan dari keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan dorongan permanen dalam sejarah bangsa manusia. Manusia hanya dapat merealisir dirinya sebagai manusia kalau haknya yang fundamental, ialah keadilan sosial tercapai. Keadilan sosial bukan hanya soal keutamaan yang dimiliki oleh individu, tetapi keadilan sosial adalah soal penciptaan tatanan yang mencakup bidang sosial, politik dan ekonomis.
  1. 4. Pendidikan mencakup pendidikan politik. Agar tercipta suatu kehidupan politik yang manusiawi, maka pendidikan harus mencakup pendidikan politik. Ini ditekankan Driyarkara dalam berbagai pembahasan, seperti tentang kesosialan manusia, kemerdekaan, Pancasila, kepribadian nasional (Karya Lengkap, 57-97; 321-345; 599-646; 651-704; 831-959). Pendidikan politik pada dasarnya bertujuan memberdayakan (empowering) warganegara agar mampu berpartisipasi secara konstruktif dalam membangun kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan perkataan lain tujuan pendidikan politik adalah menciptakan di kalangan warganegara nilai-nilai politik yang akhirnya menjadi budaya politik. Pendidikan politik merupakan sosialisasi nilai-nilai dasar dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Maka tiga proses saling berkaitan: pendidikan politik, budaya politik dan sosialisasi.
Cakupan pendidikan politik dapat digambarkan sebagai berikut:




Pendidikan HAM/




kewarganegaraanPartisipasi sebagai warganegara
yang efektif   Mempertahankan dan
memperkuat demokrasi  Membangun identitas nasional
dan budaya politik Indonesia Pengembangan kemampuan dasar
(Political literacy)Belajar menjadi
Indonesia
Pembentukan Negara Republik Indonesia dan pembangunan bangsa (nation-building) merupakan proses yang belum selesai, maka masyarakat Indonesia terus menerus “belajar menjadi Indonesia”. Driyarkara mengatakan kita “menegara”. Proses tersebut oleh Clifford Geertz disebut sebagai “integrative revolution“. Negara dan Bangsa Indonesia terdiri dari kesatuan kelompok-kelompok etnis, yang berbeda satu sama lain dalam bahasa, agama, adat istiadat dan berbagai sistem simbol. Kelompok-kelompok itu memperluas ikatan primordialnya dan mengikatkan diri pada komunitas yang lebih besar lingkupnya yaitu Negara dan Bangsa Indonesia. Terbentuknya Negara dan Bangsa Indonesia membawa serta institusi, nilai-nilai, hak dan kewajiban serta wawasan yang baru. Masyarakat Indonesia yang majemuk itu harus difasilitasi untuk mengenal semuanya. Itu dapat disebut sebagai pendidikan politik. Masyarakat perlu belajar bagaimana menjadikan dirinya tidak hanya mengetahui apa itu artinya negara dan bangsa tetapi juga efektif dalam kehidupan publik melalui pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai baru yang dapat disebut “political literacy“. Pembentukan Negara dan Bangsa Indonesia serta keanggotaan didalamnya membawa serta suatu perubahan identitas baru, yang disebut identitas nasional. Identitas nasional bukan hanya ekspresi politis, tetapi juga suatu sistem representasi budaya, dimana warganegara berpartisipasi dalam realitas nyata dan di dalam idea bangsa. Dengan demikian pembentukan identitas diri bangsa mencakup sosialisasi nilai-nilai Pancasila menjadi karakter bangsa, yang mampu menghargai perbedaan keyakinan, manusiawi dan santun, mencintai tanah airnya dan berempati kepada sesama, demokratis, dan adil. Unsur ketiga dari pendidikan politik adalah pendidikan demokrasi. Ada tiga pengertian dari demokrasi. Pertama, demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana rakyat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang akan menentukan hidup mereka. Dalam kebanyakan negara modern hal ini dilakukan melalui perwakilan. Untuk itu dibutuhkan berbagai prosedur. Demokrasi dalam arti ini adalah prosedur untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis (persamaan, akuntabilitas, checks and balances dll). Prosedur itu misalnya pemilihan umum dan syarat-syaratnya, penyampaian suara atau pendapat konstituen atau rakyat. Akhirnya demokrasi juga merupakan suatu budaya. Demokrasi sebagai budaya menyebar ke berbagai institusi: keluarga, lembaga pendidikan, organisasi, partai politik. Semuanya menuntut agar setiap anggota ikut menentukan institusi atau organisasi tersebut. Mengandaikan dihormatinya HAM, pendidikan HAM dan hak-hak sipil menjadi penting karena (1) HAM itu melekat dalam diri manusia sebagai manusia; (2) hak-hak sipil melekat dalam statusnya sebagai warganegara; (3) negara bertugas melindungi dan membantu perwujudan hak-hak warganya. Pendidikan HAM dan hak-hak sipil merupakan bagian dari pendidikan politik.
  1. C. Humaniora Sebagai Sarana Menghumanisasikan Pengajaran
  1. 1. Arti humaniora
Humaniora disini dimaksudkan dalam dua arti; yaitu pertama, sekumpulan ilmu-ilmu kemanusiaan seperti filsafat, sejarah, ilmu-ilmu bahasa. Kedua, cara pengajaran yang mencoba mengangkat unsur-unsur pemanusiaan dalam pengajaran. Driyarkara merumuskan dalam 13 dalil diikuti penjelasan (Karya Lengkap, 420-465). Gagasan itu kami tuangkan dalam skema sebagai berikut dan kami pilih dalil X sampai XIII:
Mata pelajaran
Fungsi humanisasi
  1. 1. Mata pelajaran pada umumnya
Membantu manusia muda menyelami dunianya, sehingga membantu menjadi manusia
  1. 2. Mata pelajaran kebudayaan
Membantu manusia muda dalam memasuki alam kebudayaan (dalam arti filosofis di atas)
  1. 3. Mata pelajaran sosial
Membantu manusia muda untuk melihat dunianya sebagai Mit-Welt dan dirinya sebagai Mit-Sein
  1. 4. Mata pelajaran eksakta
Membantu manusia muda dalam proses penyelaman dan penguasaan alam jasmani
Dasar pemikiran Driyarkara sejalan dengan pemikiran filsuf kontemporer J. Habermas. Ia menyatakan bahwa jenis-jenis ilmu pengetahuan memiliki dasar antropologis yang disebut kepentingan manusia. Pertama, manusia memiliki kepentingan teknis yaitu menguasai lingkungannya. Itu melahirkan ilmu-ilmu alam. Driyarkara menyebut ilmu-ilmu eksakta yang bertujuan menyelami dan menguasai dunia fisik. Di Indonesia dirasakan betapa sulit mengajarkan ilmu fisika dan matematika, karena kesadaran antropologis sebagai manusia yang berada dan berpartisipasi dalam alam semesta kurang dihayati. Manusia menurut Driyarkara, hanya menjadi manusia dengan “mendunia atau menduniakan material, termasuk dirinya”. (Karya Lengkap, 719). Kedua, manusia memiliki kepentingan praktis (dari kata praxis, hubungan antar manusia atau kepentingan komunikasi; baik antar manusia sekarang, maupun antara manusia masa kini dengan manusia lalu melalui interpretasi atau hermeneutika teks, yang menjadikan teks kontemporer dengan kita sekarang). Ketiga, manusia memiliki kepentingan untuk bebas dari segala belenggu yang mengikatnya melalui pemikiran kritis. Driyarkara menyebut pendidikan atau kebudayaan sebagai liberalisasi (Karya Lengkap, 705-730) atau pemerdekaan. Dengan demikian Driyarkara selalu berusaha melihat dasar antropologi pendidikan. Tidak hanya pendidik perlu melihatnya, tetapi juga peserta didik perlu menyadarinya melalui refleksi. Semuanya itu dilaksanakan dari fenomena  kepada esensi atau dari esensi kepada fenomena.
  1. 2. Humanisasi pengajaran mengimplikasikan pengembangan rasionalitas manusia secara utuh. Pada masa sekarang yang ditekankan adalah rasionalitas instrumental termasuk pembaharuan pendidikan yang memberi perhatian kepada administrasi, teknologi pendidikan dan efisiensi sebagai kriteria perubahan dan kemajuan. Tuntutan administratif yang tidak meningkatkan kualitas pendidikan semakin hari semakin banyak. Pengajaran melalui humaniora akan menekankan penajaman rasionalitas manusia seperti terungkap misalnya dalam suatu pernyataan dan didalamnya telah termuat prinsip-prinsip etis yang harus dieksplisitasikan dan dipelihara. Hal ini dengan seksama dilakukan oleh Bernard Lonergan(2) yang telah saya kemukakan dalam berbagai kesempatan:
Belajar pada akhirnya adalah belajar menjadi dirinya sendiri. Belajar adalah suatu yang kita lakukan dalam diri kita dan bagi diri kita dalam kebebasan yang disadari. Ada empat imperatif etis pendidikan.
  1. a. “Be attentive“. Perhatian (attention) adalah tindakan sadar untuk memperhatikan apa yang ada di sana. Ini berarti mengamati realita sebagaimana adanya. Menangkap pengalaman kita secara jernih dan tepat. Kata Lonergan: “Lihatlah dari dekat, sehingga kamu bisa belajar” (cognitional self-appropriation).
  2. b. “Be intelligent“. Perintah ini menyuruh kita untuk memahami pola pengalaman kita atau keseluruhan hidup kita dalam konteks sekeliling kita, sehingga menjadi bermakna. Dalam praktek, ini berarti menggenggam keseluruhan tanpa terhalang oleh detail. “Pahamilah secara penuh, sehingga kamu bisa belajar” (metaphysical self-appropriation).
  3. c. “Be reasonable“. Ini mengimplikasikan mencapai suatu evaluasi tertentu tentang apa yang perlu kita putuskan melalui suatu penilaian kritis dari pilihan-pilihan yang terjadi. “Tafsirkanlah secara hati-hati, sehingga kamu dapat belajar” (hermeneutical self-appropriation).
  4. d. “Be responsible“. Perintah terakhir ini menyempurnakan gerak dari imperatif lainnya. Sementara tanggung jawab atas tindakan seseorang merupakan hakekat martabat manusia, tetapi hal ini pada akhirnya terorientasi pada dan disempurnakan pada tanggung jawab kita pada orang lain. “Bertindaklah secara benar, agar kamu bisa belajar (ethical self-appropriation)”. Di sini apropriasi-diri adalah proses mengintegrasikan pengetahuan bagi perkembangan sosial.
  1. 3. Pendidikan yang memanusiawikan akan:
  1. a. Membantu siswa mengembangkan gambaran-diri yang positif atau rasa harga-diri, bahwa dirinya layak, penting, diterima dan mampu. Semuanya ini merupakan prakondisi untuk menumbuhkan kepercayaan akan kemampuannya untuk menghayati hidup yang berkualitas dan bermakna.
  2. b. Mengembangkan inteligensi emosional dan kemampuannya untuk empati, ugahari dan penguasaan-diri.
  3. c. Mengembangkan keutamaan intelektual, kemampuan kritis dan reflektif, penilaian yang sehat, imaginasi kreatif, dan kepekaan akan nilai.
  1. D. Humanitas Integral Sebagai Tujuan Akhir Pendidikan
Humanisme sebagai visi pendidikan yang dikembangkan Driyarkara pada akhirnya bermuara pada kemanusiaan integral atau utuh yang terus menerus harus disempurnakan. Inilah humanisme baru yang bercirikan:
  1. 1. Memiliki kepekaan budaya (cultural sensibility) yang diwujudkan dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme.
  2. 2. Memperhatikan tantangan sejarah (historically attentive) yang terus berubah.
  3. 3. Mampu memprakarsai berbagai terobosan dan inovasi serta menemukan makna baru dalam berbagai dimensi kehidupan (philosophically creative).
  4. 4. Memiliki keunggulan akademik dan sekaligus memiliki kepedulian kepada keadilan dan ketidakadilan (academic excellence and sensitivity to justice and injustice).(3)
Universitas yang sudah berusia lebih dari satu millenium, ataupun institusi pendidikan lainnya merupakan tempat bagi pembangunan humanisme baru, dimana manusia mengalami transformasi eksistensinya, sumber dinamisme dan kreativitas baru dan pertanyaan radikal.(4)
Catatan:
  1. (1) Alan Milchman and Alan Rosenberg, “Martin Heidegger and the University as a Site for the Transformation of Human Existence”, The Review of Politics 59 (Winter 1997), No. 1, 78-79.
  2. (2) Permasalahan ini dikemukakan oleh Alison Mearns Benders, “Renewing the Identity of Catholic Colleges: Implementing Lonergan’s Method in Education”, Teaching Theology and Religion, 10 (2007), No. 4, 215-222. Mengenai kajian lebih lanjut B. Lonergan, Insight. A Study of Human Understanding. San Francisco: Harper & Row, 1978. B. Lonergan, Method in Theology. New York: Seabury Press, 1979.
  3. (3) Lihat, Jeffrey Centeno, “Learning-to-Be: Reflections on Bernard Lonergan’s Transcendental Philosophy of Education”, http://www.metanexus.net.
  4. (4) Alan Milchman and Alan Rosenberg, “Martin Heidegger and the University as a Site for the Transformation of Human Existence”, The Review of Politics 59 (Winter 1997), No. 1, 78-79

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar